ANALISIS SITUASI KESEHATAN REPRODUKSI
Keadaan kesehatan reproduksi di Indonesia dewasa ini masih belum seperti yang diharapkan. Bila dibandingkan dengan keadaan di negara ASEAN lainnya, Indonesia masih tertinggal dalam banyak aspek kesehatanrepeproduksi. Di bawah ini keadaan dan masalah beberapa komponen kesehatan reproduksi yang dapat memberikan gambaran umum tentang keadaan kesehatan reproduksi.
I. Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi bila dibandingkan dengan negaranegara sedang berkembang ASEAN lainnya. Pada tahun 1994 (SDKI) AKI di Indonesia adalah 390 per 100.000 kelahiran hidup. Penurunan AKI tersebut sangat lambat, yaitu menjadi 373 per 100.000 pada tahun 1995 (SKRT), sementara pada tahun 2000 ditargetkan menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup. Ada beberapa yang cukup antara AKI di Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali (SKRT 1995), MISALNYA DI Provinsi Jawa Tengah 248, Nusa Tenggara Timur 554, Maluku 796 dan Papua 1025 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini mencerminkan adanya perbedaan dalam segi geografis, demografis, akses dan kualitas pelayanan kesehatan serta sumber daya manusia.
Penyebab utama kematian ibu masih tetap perdarahan, sepsis dan eklamsia, di samping partus lama dan abortus terkomplikasi. Perdarahan postpartum di banyak wilayah merupakan penyebab kematian ibu terbesar, diperkiraan mencapai sekitar 40-50%. Dalam rangka mempercepat penurunan AKI, sejak tahun 1989/1990 dimulai Program Pendidikan Bidan bagi para lulusan Sekolah Pendidikan Keperawatan (SPK) selama 1 tahun. Lulusan sekolah bidan tersebut kemudian ditempatkan di desa. Sejak itu sampai tahun 1996 telah dihasilkan lebih dari 54.000 bidan, sehingga hampir semua desa di Indonesia mempunyai bidan. Bidan di desa yang semula direkrut sebagai pegawai negeri ini sejak tahun 1994 dipekerjakan berdasarkan kontrak selama 3 tahun,yang dapat diperpanjang selama 3 tahun kedua. Pada tahun 2000, perpanjangan untuk 3 tahun ketiga mulai dilaksanakan, sambil menunggu kesiapan bidan untuk mampu berpraktek secara mandiri atau kesiapan daerah untuk mengangkat bidan sebagai tenaga daerah.
Keberadaan bidan di desa tampak memberikan kontribusi nyata terhadap cakupan pelayanan kebidanan besar. Misalnya, cakupan akses pelayanan atenatal (K1) meningkat dari 74% pada tahun 1993 menjadi 89% pada tahun 1997. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan meningkat dari 39,6% pada tahun 1993 menjadi 59,8% pada tahun 1997 dan sekitar 66% pada tahun 1999, walaupun sekitar 70% persalinan tetap berlangsung di rumah. Namun, masalah kematian ibu merupakan masalah yang kompleks, yang diwarnai oleh derajat kesehatan, termasuk status kesehatan reproduksi dan status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan. Prevalensi anemia pada ibu hamil masih sekitar 50%, sementara prevalensi kurang energi kronis masih lebih dari 30%. Sekitar 60% ibu hamil dalam keadaan yang mempunyai satu atau lebih keadaan “4 terlalu” ( terlalu muda: kurang dari 20 tahun;tua; lebih dari 35 tahun; sering: jarak antar-anak kurang dari2 tahun; banyak: lebih dari 3 anak). Prevalensi infeksi saluran reprodu si diperkirakan juga cukup tinggi, karena rendahnya higiene perorangan dan pemaparan terhadap PMS yang meningkat.
Kejadian kematian ibu juga berkaitan erat dengan masalah sosiobudaya, ekonomi, tradisi dan kepercayaan masyarakat. Hal ini melatarbelakangi kematian ibu yang mengalami komplikasi obstetric, yaitu dalam bentuk “3 terlambat”. 1) terlambat mengenali tanda bahaya dan mengambil keputusan di tingkat keluarga, 2) terlambat mencapai tempat pelayanan kesehatan dan 3) terlambat mendapat penanganan medis yang memadai di tempat pelayanan kesehatan. Kejadian komplikasi obstetric terdapat pada sekitar 20% dari seluruh ibu hamil, namun dewasa ini kasus komplikasi obstetric yang tertangani masih kurang dari 10% dari seluruh ibu hamil,yang berarti kurang dari 50& dari perkiraan kasus. Target penanganan kasus komplikasi obstetric yang ditetapkan untuk tahun 2005 adalah minimal 12% dari seluruh ibu hamil ( atau 60% dari total kasus komplikasi obstetric).
Permasalahan kesehatan ibu tersebut merupakan refleksi dari masalah yang berkaitan dengan kesehatan bayi baru lahir.Angka Kematian bayi (AKB) di Indonesia (SDKI, 1997) masih di atas Negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam, yaitu 52 per 1000 kelahiran hidup. Walaupun demikian AKB tersebut sudah menurun dari 74 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 dan 66 per 1000 kelahiran pada tahun 1994. Sekitar 40% kematian bayi terjadi pada bulan pertama kehidupannya. Penyebab kematian pada masa perintal/neonatal pada umumnya berkaitanndengan kesehatan ibu selama hamil, kesehatan janin selama di dalam kandungan dan proses pertolongan persalinan yang diterima ibu atau bayi, yaitu asfiksia, hipotermia karea prematuritas/BBLR, trauma persalinan dan tetanus neonatorum.
2. Keluarga Berencana
Program Keluarga berencana (KB) di Indonesia termasuk yang dianggap berhasil di tingkat
internasional. Hal ini terlihat dari kontribusinya terhadap penurunan pertumbuhan penduduk,
sebagai akibat dari penurunan angka kesuburan total (total fertility rate, TFR). Menurut SDKI, TFR pada kurun waktu 1967-1970 menurun dari5,6 menjadi hamper setengahnya dalam 25 tahun, yaitu 2.8 pada periode 1995-1997.
Cakupan pelayanan KB (contraceptive prevalence rate, CPR) pada tahun 1987 adalah 48%, yang meningkat menjadi 57% pada tahun 1997. dari proporsi tersebut 95% menggunakan cara kontrasepsi modern, yang terdiri dari suntikan KB 21%, pil 15%, IUD 8%, implant 6%, tubektomi 3%, vasektomi 0.1% dan kondom 1%.Dari data ini terlihat bahwa partisipasi pria dalam berKB masih sangat rendah, yaitu kurang dari 2%.
Besarnya proporsi peserta KB yang menggunakan suntikan dan KB pada masyarakat yang tingkat sosioekonominya belum memadai memberikan risiko drop out KB yang cukup berarti. Proporsi drop out peserta KB (discontinuation rate) menurut SDKI 1997 adalah 24%. Alasan penghentian antara lain adalah 10% karna efek samping/alas an kesehatan, 6% karena ingin hamil dan 3% karena kegagalan. Data SDKI 1997 menunjukan pula bahwa perempuan berstatus kawin yang tidak ingin punya anak lagi atau ingin menjarangkan kelahiran berikutnya tetapi tidak menggunakan cara kontrasepsi (unmet need) masih cukup tinggi yaitu 9%, yang terdiri dari 4% berkeinginan memjarangkan kelahiran dan 5% ingin membatasi kelahiran. Angka ini sudah menurun dibandingkan dengan tahun 1994 sebesar 11% dan pada tahun 1991 sebesar 13%. Penyebab masih tingginya angka ini, antara lain kualitas informasi dan pelayanan KB, serta missed opportunity pelayanan KB pada pasca-persalinan.
Namun, seperti dikemukakan di atas, sekitar 65% ibu hamil mempuinyai satu atau lebih keadaan “4 terlalu” (terlalu muda, tua, sering dan banyak). Hal ini menunjukkan bahwa masih jauh lebih banyak terjadi kehamilan yang perlu dihindari, walaupunangka unmet need hanya 9%, yang juga sekaligusmenunjukkan bahwa kesadaran berKB pada pasangan yang paling membutuhkan pelayanan KB (karena umur istri terlalu muda/tua, masih mempunyai anak kurang dari 2 tahun, atau mempunyai anak lebih dari 3) belum mantap.